Wednesday, April 13, 2011

MENGEMBANGKAN BUDAYA LOKAL (JAWA) DALAM MEREDAM KONFLIK SOSIAL

MENGEMBANGKAN BUDAYA LOKAL (JAWA)
DALAM MEREDAM KONFLIK SOSIAL
Christriyati Ariani
diambil dari : Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
8
Abstrak
Banyak norma dalam kehidupan orang Jawa dalam pergaulannya di masyarakat.
Istilah-istilah yang akrab melekat dalam sehari-hari merupakan acuan hidup dalam
kebersamaan di samping tradisi yang berlaku, misalnya guyub rukun, gugur gunung,
gotong royong, tulung-tinulung dan istilah lain yang sarat dengan nilai pekerti luhur.
Perkembangan teknologi dalam era global memberi efek positif maupun negatif bagi
kehidupan masyarakat termasuk orang Jawa. Nilai positif akan sangat bermanfaat
bagi kemajuan bangsa, namun efek negatif akan mengikis nilai norma yang sudah
ada. Ada sesuatu yang hilang. Dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan
budaya Jawa banyak lontaran keprihatinan dari para budayawan atau pemerhati
budaya. Pada umunya mereka menyatakan bahwa pada masa kini budaya Jawa yang
adi luhung itu telah terkikis. Pada awalnya kita percaya hal itu. Namun ketika kita
dikejutkan dengan hantaman gempa di Jogja dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei
2006 yang meluluhlantakkan sebagian hunian, merobek hati masyarakat, kita melihat
suatu kenyataan. Saat kesedihan mendera, datang kembali kebersamaan dalam
menghadapi musibah itu. Semangat gotong royong, tulung tinulung, guyub rukun,
gugur gunung kembali hinggap di hati. Namun ketika terdengar berita akan ada
bantuan dari pemerintah bagi korban gempa, apa yang terjadi? Jawaban itu akan
dapat diperoleh dalam uraian ini.
1 Dalam Harian Kedaulatan Rakyat, 20 Juni 2006, hal. 10
7
kegiatan kemanusiaan yang sangat luhur.
Barangkali di saat ini yang seringkali
dikonotasikan dengan zaman “modern”, nilainilai
seperti itu mungkin merupakan sebuah
nilai yang mahal harganya. Gaya modernitas
yang selalu ditandai dengan individualitas,
egoisme serta kehidupan yang penuh
dengan”kepura-puraan”, semuanya selalu
mengandung pamrih yang diharapkan.
Apalagi tidak sedikit dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), yayasan sosial, instansi
pemerintah dengan berbagai atribut serta
“pakaian” nya seakan-akan turut serta
berlomba-lomba ingin berpartisapasi dalam
penanganan korban gempa, baik selama
masa tanggap darurat hingga masa
rekonstruksi maupun rehabilitasi.
Di sisi lain, warga korban gempa pun
dengan kerendahan hati dan ketulusihklasannya
menerima dengan senang hati
berbagai bantuan baik moril maupun materiil
yang diberikan dari para dermawan maupun
relawan. Bahkan hal yang sangat menarik,
di masa rekonstruksi masih ada sekelompok
manusia yang dengan tulus ikhlas
memberikan sumbangan berupa tenaga.
Mereka adalah kaum pekerja yang berasal
dari daerah sekitar Sawangan, Kaliangkrik
(Magelang), serta daerah-daerah lainnya
yang secara rutin setiap hari minggu, turut
serta membantu warga Bantul dalam
membongkar, serta membersihkan puingpuing
bangunan rumah mereka yang roboh
akibat gempa. Mereka berdatangan dengan
menggunakan truk-truk terbuka, di pagi hari
dan akan kembali di sore hari. Selama
mengerjakan pembersihan puing-puing
bangunan yang hancur karena gempa,
mereka tidak mau merepotkan si pemilik
rumah, karena mereka membawa bekal serta
kebutuhannya sendiri.
Akan tetapi, kerukunan, kebersamaan,
rasa senasib sepenanggungan, serta sikap
kegotongroyongan, tiba-tiba mulai terusik
manakala pemerintah mulai mengumumkan
adanya bantuan jaminan hidup (jadup)
maupun dana rekonstruksi yang akan
diberikan kepada para korban gempa. Jalinan
keharmonisan yang sempat terjalin beberapa
waktu mulai mengendur. Apalagi banyak
disinyalir bahwa penyaluran bantuan tersebut
banyak mengalami kendala, ketidakadilan
serta penerimaan yang tidak serentak dan
merata. Dari situlah mulai tumbuh konflikkonflik
sosial di antara sesama korban, di
antara sesama tetangga korban, bahkan di
antara sesama dusun maupun desa yang
menjadi korban gempa. Bantuan materiil
(baca uang) ternyata telah mampu
menghapuskan nilai-nilai budaya lokal yang
selama ini sebenarnya masih mereka miliki.
Batasan Konsep: Budaya Lokal,
Konflik Sosial
Di dalam dunia ilmu antropologi, budaya
atau kebudayaan mempunyai batasan yang
sangat kompleks dan tidak terhingga,
tergantung dari perspektif mana yang akan
kita gunakan. Sejalan dengan permasalahan
serta topik dari judul artikel ini, maka saya
menempatkan budaya (baca kebudayaan)
dalam dua hal. Pertama, kebudayaan
merupakan suatu sistem ideasional, suatu
konsep gagasan yang dimiliki oleh setiap
individu yang menjadi pedoman dalam
hidupnya. Kebudayaan sebagai sistem
ideasional ini berada di dalam sistem kognitif
setiap individu, berada di dalam alam pikiran
(mind) individu yang dimiliki secara bersama
dalam suatu komunitas.2 Di sini, budaya
digunakan untuk mengacu pada pola
kehidupan suatu masyarakat - kegiatan dan
pengaturan materiil dan sosial yang berulang
secara teratur.
Dengan demikian, budaya dalam
pengertian tersebut, dapat dilihat sebagai
sistem pengetahuan yang akan memberikan
patokan guna menentukan apa…; guna
2 Keesing, Roger dan Godenough, Antropologi Budaya, Suatu Perspekstif Kontemporer, Penerbit Erlangga,
1999, hal. 68
Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial (Christriyati Ariani)
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
8
menentukan bisa jadi apa…; guna
menentukan bagaimana kita merasakannya;
guna menentukan apa yang harus diperbuat
tentang hal itu, dan…..guna menentukan
bagaimana cara melakukannya. Atau, dengan
kata lain kebudayaan merupakan suatu “alat”
yang digunakan dalam pemenuhan
kehidupannya. Di dalam sistem gagasan
budaya Jawa, hal-hal seperti itu dapat ditemui
di dalam berbagai adat-istiadat, tradisi,
ungkapan-ungkapan tradisional, norma,
aturan, pandangan hidup (ways of life),
kearifan lokal, dan sebagainya.
Kedua, kebudayaan atau budaya
merupakan suatu sistem makna, yaitu halhal
yang selalu berhubungan dengan simbolsimbol
tertentu, dikenal dan diketahui dan
disebarkan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Mengingat budaya
(kebudayaan) dianggap sebagai simbol, yang
mengandung makna-makna tertentu, berarti
ada sesuatu di dalam kebudayaan yang perlu
dibaca, kemudian ditangkap dan ditafsir
maknanya, sehingga pada gilirannya hasil
pemaknaan dan penafsiran tersebut akan
diketahui dan dibagikan oleh dan kepada
masyarakat, serta diwariskan kepada
generasi berikutnya.3 Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil
pemaknaan dari sebuah masyarakat yang
bersangkutan dalam melihat peristiwaperistiwa
atau gejala sosial budaya yang
sedang terjadi.
Sejalan dengan konsep tersebut, maka
di dalam budaya Jawa secara luas telah
dikenal dengan berbagai makna dan
simbolisasi budaya yang hampir melingkupi
seluruh aspek kehidupan masyarakatnya.
Segala perilaku, tindakan, perbuatan maupun
peristiwa-peristiwa tertentu yang melingkupi
hidup manusia Jawa, selalu dikaitkan dengan
simbol serta makna tertentu, yang seringkali
dihubungkan dengan kondisi masyarakatnya.
Bahkan seperti tanda-tanda alam sekali pun,
sering dihubung-hubungkan dengan sesuatu
peristiwa yang akan terjadi. Kepiawaian
manusia Jawa dalam niteni suatu fenomena
alam yang terjadi dalam hidupnya memang
tidak perlu diragukan.
Sementara itu, Kuper dan Kuper4
mendefinisikan konflik sosial dalam dua hal.
Pertama, konflik sosial merupakan suatu
perspektif atau sudut pandang tertentu, di
mana konflik dianggap selalu ada dalam
setiap bentuk interaksi manusia di dalam
struktur sosialnya. Kedua, konflik sosial dapat
diartikan secara eksplisit sebagai suatu
bentuk pertikaian terbuka seperti perang,
revolusi, pemogokan dan gerakan
perlawanan. Asal mula terjadinya konflik
sebenarnya dapat ditelusuri dari tingkat
kejadiannya. Pihak-pihak yang berkonflik
dapat dibedakan atas dasar tingkat organisasi
serta kekompakannya. Konflik sosial juga
dapat terjadi akibat adanya pertentangan
tujuan, mulai dari pertikaian yang bersifat
sederhana yang dianggap bernilai tinggi,
hingga kasus-kasus tertentu yang bersifat
kompleks seperti penguasaan tanah,
perebutan harta benda dan sebagainya.
Konflik sosial juga bisa terjadi atas dasar
cara yang digunakan, misalnya melalui
pemaksaan secara terang-terangan;
ancaman, hingga berupa bujukan yang
bersifat halus.
Di dalam kehidupan sosial masyarakat
Jawa, pada intinya mereka sangat
menghindari terjadinya konflik. Walaupun bila
terpaksa konflik itu harus terjadi, maka
diupayakan untuk tidak dilakukan secara
terang-terangan dan eksplisit. Pedoman hidup
manusia Jawa yang selalu mengutamakan
kerukunan, keharmonisan serta keselarasan,
berusaha selalu tetap menjaga kondisi damai,
harmoni dan selaras di dalam tatanan sosial,
sampai kapan pun dan dimana pun. Oleh
3 Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan (terjemahan), Kanisius, 1992, hal. 15
4 Adam Kuper and Jesica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Rajawali Press, 2000, hal. 155
9
karenanya, bagi manusia Jawa istilah-istilah
seperti padu, kerengan, neng-nengan
diusahakan untuk dihindari, dijauhi bahkan
sedapat mungkin dicegah.
Akan tetapi, konflik seringkali muncul,
terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa,
manakala harga diri dan martabat mereka
mulai diusik. Konflik bisa juga muncul akibat
perseteruan yang dipicu oleh hadirnya pihak
lain, terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan
dalam pembagian materi. Walaupun
dalam sistem budaya Jawa kondisi seperti itu
merupakan hal yang “tabu” dan “saru” untuk
diperbincangkan dan dipermasalahkan,
namun realitas yang terjadi saat ini sering
terjadi. Sejalan dengan banyaknya
permasalahan sosial yang muncul pasca
bencana saat ini, maka seakan-akan
masyarakat Jawa mulai meninggalkan nilainilai
budayanya yang telah melekat dalam
dirinya. Mereka mulai menjauhi prinsip hidup
yang berpijak kepada hubungan keselarasan,
keharmonisan, serta kerukunan, yang selama
ini telah menjadi ciri khasnya. Masyarakat
Jawa mulai meninggalkan nilai-nilai
budayanya, mulai menjauhi nilai-nilai kearifan
lokal yang mereka miliki.
Keberadaan Budaya Lokal (Jawa):
Perlukah Dikembangkan dan
Dilestarikan?
Semenjak berbagai bencana yang
melanda negeri ini secara bertubi-tubi
(tsunami Aceh dan Nias 2004, gempa bumi
Nias 2005, banjir bandang Jatim dan Sumut
2005 serta gempa bumi DIY, Jateng, bencana
Merapi dan tsunami Jabar 2006) perlu
disadari atau tidak bahwa negeri ini
merupakan negeri yang rawan akan
bencana. Selain secara geologis Indonesia
sebagian besar berada di daerah yang rawan
gempa karena berada di atas pertemuan tiga
lempeng benua, berbagai bencana yang
terjadi pun tidak luput akibat ulah manusia.
Mulai dari pembabatan hutan yang ditandai
dengan penebangan liar (pembalakan) hingga
eksploitasi alam secara besar-besaran yang
dilakukannya. Perilaku tersebut mencerminkan
bagaimana ulah manusia yang tidak
memperhatikan kelestarian alam. Nafsu serta
keinginan sesaat untuk mewujudkan
kepentingan pribadi jauh lebih menonjol, tanpa
mempedulikan kepentingan bersama, serta
kelangsungan kehidupan lingkungan.
Sebenarnya, di balik semua peristiwa
bencana yang kita alami ada hikmah
tersendiri yang sangat perlu untuk
direnungkan, ada sesuatu yang perlu
dimaknai, kemudian dijadikan pelajaran
berharga. Hikmah dari peristiwa inilah
kemudian dapat dijadikan pedoman dalam
menapaki hidup yang lebih baik. Selain
mengakibatkan traumatis serta membentuk
memori kolektif yang mungkin sulit untuk
dihilangkan dalam beberapa waktu, di sisi lain
musibah bencana alam juga menimbulkan
adanya perubahan yang terjadi dalam diri
manusia maupun masyarakat, baik
menyangkut sistem pengetahuan, perilaku
maupun tindakan. Di dalam budaya Jawa,
dengan terjadinya bencana lebih dimaknai
sebagai suatu “peringatan”, teguran atau
sapaan terhadap perilaku dan perbuatan
manusia Jawa, yang selama ini mungkin tidak
lagi sesuai dengan nilai-nilai budayanya.
Sejalan dengan hal itu, maka hikmah lain
yang saat ini mulai muncul dalam kehidupan
masyarakat Jawa khususnya (terutama bagi
daerah bencana), adalah tumbuhnya kembali
bentuk-bentuk budaya lokal. Ketakutan
warga masyarakat akan terjadinya bencana
alam secara tidak langsung sebagai media
untuk berintrospeksi diri, menggugah serta
menanyakan kembali, kesalahan apa yang
telah diperbuat, perilaku apa yang harus
diubah dan ditinggalkan. Adanya benturanbenturan
batin yang mereka rasakan itulah,
pada akhirnya manusia Jawa mulai mencari
semua jawaban dalam budaya yang
melingkupi hidupnya. Mereka mulai mau
mengenali kembali berbagai nilai-nilai budaya
lokal, yang saat ini cenderung ditinggalkan,
yang justru nilai-nilai budaya tersebut
sebenarnya telah mengakar di dalam dirinya.
Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial (Christriyati Ariani)

Dibalik kehidupan yang serba
“modern” yang ditandai dengan kecanggihan
media informasi, serta telah menghilangkan
batas-batas identitas seseorang, ternyata nilai
budaya lokal masih “mampu” bertahan,
bahkan masih bisa menuntun perilaku
manusia. Melalui berbagai bencana yang
seringkali mendera mereka, paling tidak bisa
dijadikan perenungan tersendiri, kesalahan
apa yang telah diperbuatnya, sehingga alam
memberikan bencana kepadanya. Semenjak
terjadinya bencana, saat ini warga
masyarakat cenderung lebih giat
melaksanakan tradisi-tradisi, adat istiadat
tertentu yang mungkin mereka anggap
“kuno”, tidak realistis, serta irasional.
Sebagai contoh, berbagai ritual tradisi (wiwit,
merti dusun, rasulan, labuhan) untuk
memohon keselamatan, mulai aktif dilakukan
kembali oleh warga tani; doa keselamatan
mulai digelar, nilai-nilai kegotongroyongan
mulai bersemi kembali, serta mulai tumbuhnya
budaya sambatan, gugur gunung di
kalangan masyarakat Jawa. Kesemuanya
itu merupakan bentuk-bentuk budaya lokal
Jawa yang sebenarnya telah dimiliki dan
diajarkan dari leluhur kita. Merawat,
memelihara serta menjaga kelestarian
lingkungan alam, menjaga keharmonisan
hubungan antara manusia-manusia, menjaga
keselarasan hubungan antara manusia-alam,
bahkan menjaga hubungan manusia-Tuhan,
sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat
Jawa sejak dahulu.
Namun, selama ini budaya lokal yang
sarat dengan nilai-nilai kultural yang sangat
tinggi tersebut mulai ditinggalkan, karena
dianggap kuno, tradisional, serta tidak
rasional. Budaya modern yang cenderung
“dianggap” lebih mengutamakan kepada
sikap-sikap rasionalitas-logika justru lebih
diutamakan dan dianggap mampu
memecahkan semua permasalahan. Akan
tetapi, dengan terjadinya berbagai bencana
alam yang membuat situasi dan kondisi
warga masyarakat menjadi serba tidak pasti
(chaos), menjadikan warga masyarakat
korban bencana berusaha untuk mencari
ketenangan batin melalui ritus-ritus budaya
tersebut. Mereka berusaha mencari
perlindungan, ketenangan, serta
ketenteraman batin melalui ritual-ritual
budaya. Kekuatan spiritual dan mental mulai
ditumbuhkan melalui bentuk-bentuk budaya
lokal yang sarat dengan nilai-nilai kearifan.
Bagi manusia Jawa, fenomena alam yang
bersifat periodik dan berpotensi
memunculkan bencana, berusaha dicegah
melalui ritus budaya. Selain itu, dengan
adanya ritus-ritus budaya tersebut tidak lain
bertujuan untuk menyegarkan kembali
ingatan manusia Jawa akan tuntutan hidup
yang lebih arif dan bijaksana lagi dalam
memperlakukan alam lingkungannya.
Selanjutnya, ritus budaya tersebut dilakukan
warga masyarakat sebagai usaha untuk
berintrospeksi diri. Manusia Jawa bisa melihat
ke “belakang” sebelum bencana terjadi, untuk
memperbaiki kehidupan “yang lebih baik” di
masa depan. Budaya eling lan waspada
mulai dihidupkan kembali.
Instrospeksi diri tersebut kemudian
mendorong manusia Jawa untuk hidup lebih
seimbang dan selaras dalam hubungannya
dengan sesamanya, dengan alam
lingkungannya, serta dengan Tuhan atau
Pencipta-Nya. Inilah sebenarnya tujuan hakiki
yang ingin dicari oleh manusia Jawa dalam
menjalani kehidupannya.
Kesadaran akan ketiga hal hubungan
dalam diri manusia Jawa itulah yang
seharusnya dicari dalam ritus-ritus budaya.
Situasi pascabencana yang menyebabkan
perasaan setiap orang menjadi lebih sensitif,
lebih peka, serta cenderung emosional, sangat
mudah memicu timbulnya konflik sosial di
antara sesama korban bencana. Kiranya
konflik-konflik tersebut dapat diendapkan dan
dihindarkan serta dijauhi oleh manusia Jawa,
apabila mereka menyadari akan peran dan
kedudukannya di alam ini, antara lain bila
manusia Jawa memahami dan menyadari
dalam melihat ketiga hubungan manusia
tersebut. Ritus budaya Jawa yang selama ini
11
telah menjadi tuntunan kehidupannya, kiranya
jangan berhenti sebatas ekspresi budaya
semata, hanya sebatas seremonial belaka.
Namun, semangat atau spirit yang
terkandung di dalam ritus budaya Jawa
hendaknya harus dipegang dan diterjemahkan
untuk selanjutnya diaplikasikan dan
diimplementasikan di dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karenanya, kegiatan nyata
pemulihan pascabencana harus didasari
dalam kerangka kearifan dalam
melaksanakan sebuah ritual. Hubungan
manusia dengan alam harus diselaraskan,
hubungan manusia dengan Tuhan (Pencipta)
harus diseimbangkan, serta hubungan
manusia dengan manusia harus diperbaiki
kembali. Kesemuanya itu, tidak lain bertujuan
membangun suatu tatanan kehidupan yang
seimbang, rukun, selaras serta harmoni.
Melalui ritual budaya lokal, manusia
Jawa diajak kembali untuk berpijak kepada
tradisi, melihat kembali kearifan lokal yang
pernah hidup dan diwarisi dari para leluhur,
nenek moyang serta para sesepuh mereka.
Kesadaran kolektif manusia Jawa muncul
kembali, sehingga mereka sadar bahwa
perilaku manusia Jawa, sesungguhnya sangat
berkaitan erat dengan perilaku alam
lingkungan yang telah memberikan
penghidupan baginya. Pada dasarnya, ritus
budaya Jawa merupakan penyatuan antara
harapan, doa, dan niat mulia manusia untuk
mencapai kebaikan bersama. Kondisi korban
pascabencana yang cenderung menjadi lebih
sensitif karena kondisi yang dialami, kiranya
semangat kebersamaan harus terus
ditumbuhkan, dipupuk dan dilestarikan untuk
mencegah terjadinya konflik sosial.
Dengan terjadinya berbagai bencana
yang melanda negeri ini ternyata telah
menunjukkan bahwa di antara warga
masyarakat maupun bangsa Indonesia
secara umum sebenarnya memiliki modal
sosial yang sangat besar dan kuat. Dalam
skala nasional, dengan terjadinya bencana
ternyata telah membangkitkan kesadaran
kolektif warga bangsa, untuk mengenyam
kembali modal sosial yang pernah tersimpan
selama ini. Mungkin di antara kita bisa
mengenali kembali modal sosial yang ada di
dalam keluarga kita, di dalam kehidupan
warga masyarakat, yayasan/lembaga, hingga
kepada hal yang paling besar dan kompleks
seperti institusi negara. Di sinilah saatnya
mulai tumbuh rasa solidaritas sosial yang
selama ini mungkin sempat hilang dan
tenggelam akibat sikap egosentrisme
kelompok, pertikaian politik maupun konflik
sosial yang marak terjadi selama ini. Kini
saatnya kita memiliki peluang emas untuk
merajut kembali ikatan persaudaraan yang
sempat mengendur, dengan menumbuhkan
kembali kegotongroyongan, kebersamaan,
kerukunan serta kejujuran.
Setelah melihat realita yang terjadi di
masyarakat saat ini dengan munculnya
berbagai ritus budaya Jawa pascabencana,
pertanyaan yang muncul kemudian adalah
apakah semangat tradisi budaya itu benarbenar
telah merasuk dalam kehidupan
masyarakat Jawa. Atau, apakah ritual budaya
tersebut hanya sekedar ‘etalase’ budaya
yang marak dalam waktu sesaat dan akan
hilang dalam waktu sekejap saja? Kiranya
jawaban pertanyaan ini berpulang kepada diri
kita masing-masing sebagai penyangga serta
pemilik identitas sebagai manusia Jawa,
sehingga apakah nilai-nilai budaya Jawa perlu
untuk tetap dilestarikan dan diwariskan
kepada pewarisnya?.
Penutup
Dengan maraknya berbagai ekspresi
budaya lokal yang tercermin dalam beberapa
ritual yang dilakukan warga masyarakat Jawa
pascagempa, sedikitnya telah mengingatkan
kita kepada bentuk-bentuk nilai-nilai luhur
budaya Jawa, ternyata sangat penting bagi
kehidupan kita. Rasa kebersamaan,
kegotongroyongan, saling bantu membantu,
kerukunan, serta tolong menolong, kiranya
merupakan “senjata ampuh” guna
menanggulangi berbagai permasalahan yang
sedang dihadapi saat ini.
Mengembangkan Budaya Lokal Dalam Meredam Konflik Sosial (Christriyati Ariani)
Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006 ISSN 1907 - 9605
12
Di tengah mencuatnya berbagai ujian
persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga
mengakibatkan perseteruan, konflik sosial,
bahkan disintegrasi bangsa sekalipun
semenjak pascabencana, maka nilai-nilai
peradaban budaya Jawa yang
mengedepankan budaya dan etika kiranya
memang sangat diperlukan. Di saat nilai-nilai
budaya Jawa mulai terkikis oleh derasnya
ombak modernitas, ternyata ia masih mampu
bertahan. Oleh karenanya, aspek budaya
lokal pada dasarnya mempunyai potensi
sebagai perekat bagi terciptanya keutuhan
sebuah bangsa. Keanekaragaman budaya
lokal yang tercermin dalam berbagai ritual,
tradisi, serta semboyan maupun pandangan
hidup, selain menjadi identitas dan jati diri
bagi suatu sukubangsa, ternyata mempunyai
peran yang cukup kuat dalam menciptakan
kerukunan, kebersamaan serta keselarasan,
di antara sesama warga.
Perubahan paradigma pembangunan
saat ini yang menekankan kepada otonomi
daerah kiranya sangat memberi peluang
terhadap tumbuh berkembangnya budaya
lokal termasuk budaya Jawa, sebagai salah
satu pedoman bagi kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai dalam budaya lokal diharapkan
dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur
keberhasilan dalam pembangunan. Di
samping itu, dengan memelihara,
meningkatkan, serta mengembangkan budaya
lokal yang bersumber pada nilai-nilai adat
tradisi, yang selanjutnya akan membentuk dan
memperkuat jati diri daerah, serta
mendukung berkembangnya kemandirian
daerah, kiranya perlu dilestarikan dan
diaplikasikan. Akhirnya, nilai-nilai yang
terkandung dalam kekayaan budaya lokal bisa
menjadi identitas dan jati diri bagi seseorang,
sukubangsa serta bangsa (nation). Oleh
sebab itu, kehidupan yang selalu menekankan
kepada aspek kekerabatan (peseduluran)
dengan mengedepankan sikap kebersamaan,
kerukunan, kegotongroyongan, tentu akan
menghasilkan kehidupan masyarakat yang
rukun, adem ayem, serta tentrem, jauh dari
terjadinya konflik sosial.
Akan tetapi pertanyaan penting yang
masih perlu direnungkan dan dicari
jawabannya adalah apakah sikap-sikap
seperti rukun, guyub, adem ayem, tentrem
tersebut, harus muncul setelah bencana
terjadi?
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.
Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta:
Erlangga.
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali
Press.
Kedaulatan Rakyat. 2006. “Kebangkitan Yogyakarta, Kebangkitan Indonesia”, dalam Tajuk
Rencana,Yogyakarta, 20 Juni 2006.
Daftar Pustaka

No comments:

Post a Comment