Tuesday, April 5, 2011

PERISTIWA SI TUJUH BATUR DI SUMATERA BARAT TAHUN 1949

PERISTIWA SI TUJUH BATUR DI SUMATERA BARAT TAHUN 1949





Oleh:
Yusuf Bagus R.
064284032



JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peristiwa situjuh batur merupakan salah satu peristiwa sejarah perjuangan kemerdekaan republik Indonesia pada umumnya dan minangkabau(Sumatra Barat) pada kususnya. Yang terjadi pada masa agresi militer belanda II. Adapun yang menarik dari peristiwa ini adalah upaya para gerilyawan yang merupakan para perwira militer berusaha menahan tekanan dari bangsa asing guna mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu lepas dari jajahan  bangsa atau negara lain. Selain itu juga terdapat sebuah kontroversi yang sangat menarik untuk di kaji dan memerlukan suatu pemecahan masalah guna mencari suatu kebenaran sejarah dalam peristiwa tersebut.
Beberapa kajian mengenai sejarah Sumatra barat periode revolusi ini telah banyak di lakukan oleh beberapakalangan sejarawan terkemuka, diantaranya adalah yang telah dilakukan oleh Audrey Kahin[1]. Selain itu juga dibahas oleh Mr.S.M.Rasjid yang juga merupakan salah satu pelaku sejarah di Sumatra Barat pada masa revolusi Indonesia, dimana dia pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur Militer di Sumatra barat[2]. meskipun demikian, pembahasan yang mereka lakukan hanya bersifat umum  pada sejarah Sumatra barat, dan hanya sedikit membahas tentang peristiwaSitujuh Batur di daerah Sumatra Barat tahun 1949 tersebut
            Situjuh batur merupakan suatu dusun terpencil di Sumatra barat, yang terletak kira-kira 12 Km di selatan dari kota payakumbuh, kabupaten Limapuluh Kota[3]. Didusun situjuh inilah terjadi sebuah peristiwa penting yaitu rapat militer  para petinggi militer RI yang berujung pada bocornya rapat tersebut ke tangan musuh yaitu belanda, yang akhirnya belanda dapat mengepung dan  dapat membunuh beberapa petinggi militer RI.
            Adapun sebuah kontroversi yang terjadi adalah penyebab bocornya rapat tersebut ke tangan militer belanda. Ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa bocornya rapat militer tersebut adalah akibat adanya suatu penghianatan dalam tubuh militer Indonesia itu sendiri, dan ada juga beberapa kalangan yang menganggap bahwa tidak ada penghianatan dalam tubuh militer Indonesia, dan peristiwa tersebut adalah suatu kebetulan belaka dimana belanda selalu melakukan inspeksi rutin yang dilakukan dengan caramenelusuri daerah-daerah terpencil guna memberantas para gerilyawan Indonesia yang masih tersebar dimana-mana[4].
Adapun sebelum peristwa ini dapat kita ketahui bahwa pada tanggal 17 januari 1948 telah terjadi penandatanganan sebuah naskah persetujuan perdamaian antara fihak Indonesia dengan fihak belanda, yang kemudian peristiwa ini dikenal dengan “persetujuan Renville”[5]. Namun persetujuan renville ini membawa banyak sekali kesulitan bagi pemerintahan Republik Indonesia. Yang ternyata perundingan-perundingan dengan belanda setelah itu yang tujuanya untuk menyelaraskan pelaksanaan persetujuan renville berjalan dengan tersendat-sendat dan sering juga mengalami jalan buntu. Hal itu disebabkan karma adanya perbedaan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam persetujuan renville tersebut[6].
Sementara itu gejala-gejala akan datangnya serangan militer belanda telah dirasakan oleh pihak RI. Berdasarkan perkiraan keadaan setelah diterimanya persetujuaan renville, belanda berusaha mengepung indanesia secara politis, ekonomis, dan militer[7]. adapun akibat dari perundingan renville sendiri adalah semakin sempit dan kecilnya wilayah RI yaitu Jawa dan empat perlima dari sumatra[8].
Adapun hal ini dapat dikeahui karena adanya pergeseran pasukan belanda yang semakin mempersempit ruang gerak republic Indonesia . sebagai tanggapan atas kemungkinan yang akanterjadi tersebut yaiut penyerangan terhadap pemerintahan RI oleh belanda, maka direncanakanlah sebuah konsep perang yang sering dikenal dengan konsep pertahanan rakyat semesta (total People’s defence). Dan akhirnya terjadi sebuah pembatalan secara sepihak oleh pihak belanda atas persetujuan renville tersebut, pada tanggal 18 desember 1948 yang hanya beberapa jam saja sebelum belanda melakukan agresi militernya yang ke dua.
Hari minggu dini hari 19 desember 1948, bersamaan dengan seranganya ke ibukota republic di yogyakarta, belandajuga melancarkan seranganya yang juga disebut dengan police action di Sumatra barat. Mereka mulai menduduki dan menguasai daerah-daerah penting di Sumatra barat guna untuk merebut kembali wilayahnya dahulu yan pernah mereka kuasai dan mereka duduki.
Guna menahan serangaan dari belanda tersebut para pasukan republik di Sumatra barat menghancurkan jembatan-jembatandan menumbangkan pepohonan untuk menutup akses jalan menuju masuk ke daerah-daerah atau kota-kota penting yang masih dikuasai oleh pihak militer Indonesia[9]. Hal ini mereka lakukan guna untuk menghambat laju agresi militerr belanda yang ke-2 tersebut.
Pemimpin republic Indonesia di jawa yang sudah menduga bahwa akan terjadi agresi militer belanda II tersebut telah membuat rencana dalam menghadapi kemungkinan tersebut yaiut dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI) di dua tempat yaitu di jawa dan di Sumatra. Yang tujuanya adalah jika salah satu tempat ini di kuasai oleh pihak musuh yaitu belanda, maka masih ada satu lagi guna menjalankan roda pemerintahan dan dapat menunjukkan pada dunia bahwa republic Indonesia masih ada .
Keadaan situasi di bukittinggi, ketika mendengar berita bahwa belanda telah menyerang yogyakarta maka Sjafruddin Prawiranagara yang juga merupakan menteri kemakmuran Republik Indonesia, pada mulanya tidak percaya akan situasi yang ada di jawa dimana pemerintahan republik Indonesia telah hancur sedemikian cepatnya dan hamper semua anggota kabinet dan termasuk kepala egara dan wakilnya yaitu soekarno dan hatta telah ditahan oleh pihak musuh. Dia menduga bahwa laporan itu mungkin hanyalah propaganda belaka .
Selang beberapa hari kemudian di daerah halaban, Sumatra, mereka yakni Sjafruddin Prawiranagara bersama para pemimpin pemerintahan provinsi Sumatra dan komandan militer di Sumatra yang baru yaitu Kolonel Hidayat mulai menyusun strategi guna menjawab serangan serangan belanda di Indonesia pda umumnya dan di Sumatra barat pada khususunya. Maka pada tanggal 22 desembeer 1948, Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurut Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra, dan diketuai oleh dia sendiri[10]. Dari sinilah kita ketahui bahwa tujuan pemimpin-pemimpin di daerah Sumatra  tersebut untuk menunjukkan bahwa republic Indonesia masih ada meskipun pemerintahan pusat yang ada di yogyakarta telah jatuh ke tangan musuh yaitu belanda, akibat agresi militer belanda II tersebut.
Untuk menghadapi musuh di Sumatra TNI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Dahlan Jambek, dengan barisan-barisan rakyat terutama yang tersusun pada Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) yang terdapat di tiap-tiap nagari. Lima resimen infantry yang masing-masing berkedudukan di sungaipenuh, Solok, Padang panjang, Bukittinggi, dan Pekanbaru[11]. Dimana serangan-serangan dari pihak Indonesia dilakukan dengan cara melakukan taktik perang gerilya guna mempertahankan wilayah Indonesia yang masih belum terjamah oleh pihak musuh yaitu belanda.
Badan pengawal nagarr dan kota (BPNK) sendiri, didirikan jauh sebelum terjadi agresi militer belanda II. Badan ini dibentuk pada akhir juni 1947 oleh DPD Sumatra barat dengan peraturan no.15/DPD-1947, sewaktu belanda memulai agresi militerya yang pertama[12]. yang pada waktu itu dirasa sangat perlu berdirinya suatu badan yang disamping kepolisian, sehingga dapat menjamin keamanan dan keselamatan penduduk di setiap nagari atau daerah[13].
Didalam BPNK sendiri juga terdapat suatu pasukan yang disebut dengan Pasukan Mobil Teras (PMT/BPNK), dimana tugasnya adalah untuk mengadakan sabotase-sabotase dan melakukan perampasan-perampasan di daerah pendudukan musuh. Adapun perebutan perebutan yang dimaksud adalah berupa perebutan senjata, gudang perlengkapan, kantor-kantor, rumah tinggal musuh. Selain itu juga menyita alat angkutan seperti motor, mobil, dan kereta api serta juga menyita alat-alat komunikasi seperti telegrap dan radio pemancar. Hal ini dilakukan guna untuk melemahkan pihak musuh yaitu belanda. Selain itu mereka juga melakukan serangkaian sergapan dalam menganggu kekuatan musuh, seperti sergapan terhadap pos-pos kecil belanda, konvoi musuh, dan merusak jalan-jalan guna mencegah musuh untuk masuk ke daerah pertahanan yang masih di kuasai oleh pihak Indonesia.
Daerah atau nagari  di daerah Sumatra barat mulai berjatuhan terutama juga didaerah-daerah penting lainya  seperti sawahlunto, Pariaman, dan Payakumbuh pun mulai jatuh ke tangan belanda. Kemudian sebagai langkah pertama untuk mengembalikan kontrolrepublik di daerah Sumatra barat, para pemimpin Sumatra barat merencanakan akan mengadakan sebuah rapat pertemuan antara pimpinan sipil dan militer setempatguna mengatur pasukan keamana daerah dan memusyawarahkan bagaimana menyusun kembali administrasi dan menyusun kembali keamanansumatra barat agar sesuai dengan situasi yang berubah secara mendadak.
Rapat ini pertama kali dilakukan di kototinggi akan tetapi dikarnakan musuh sudah mulai menginjakkan kakinya di kototinggi  maka rapat itu pun dialihkan kesebuah dusun terpencil yang dirasa aman dan belum diduduki oleh militer belanda. Dusun tersebut bernama dusun situjuh batur. Hal inipun telah disepakati oleh para peserta rapat baik pemimpin militer ataupun sipil bahwa rapat akan diadakan pada tanggal 15 januari 1949. rapat tersebut pun didatangi oleh beberapa petinggi  seperti Chotib Soelaiman (ketua MPRD Sumatra barat), Arisun st.alamsyah (bupati militer kabupaten limapuluh kota), Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim (Panglima Komando Militer Sumatra barat), dan serta beberapa petinggi  militer dan sipil lainya. Rapat ini pun dimulai pada tanggal tersebut dinihari dan semua petinggi pun mulai melakukan rapat tersebut dengan baik.
Akan tetapi rapat militer yang sebenarnya bersifat rahasia ini jatuh ke tangan musuh, dikarenakan kelalaian dari para penjaga guna melindungi para peserta rapat tersebut kurang maksimal. Sehingga mengakibatkan banyak sekali korban berjatuhan karena serangan belanda . korban yang gugur kebanyaka dari para pemimpin militer yang berperan penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Apa penyebab kebocoran tersebut, sampai saat ini pun belum ada suatu jawaban yang pasti. Ada beberapa kemungkinan kebocoran informasi sehingga jatuh ke tangan musuh, yang pertama adalah belanda secara tidak sengaja menemukan atau mengetahui peristiwa tersebut. Dan yang ke dua adalah terjadi suatu penghianatan dalam tubuh militer republic Indonesia tersebut. Hal ini pun belum pasti kebenaranya dikarenakan belum diketemukanya bukti-bukti yang relefan.
Maka dari penjelasan latar beakang di atas, maka perlu dilakukan suatu penelusuran lebih lanjut mengenai peristiwa situjuh batur di Sumatra barat  ini yag telah memakan puluhan korban para petinggi-petinggi militer Indonesia, yang peristiwa tersebut terjadi pada awal tahun 1949 tersebut. Oleh karena itulah peneliti mengambil judul tentang “ Peristiwa Situjuh Batur di Sumatra Barat Pada tahun 1949”
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang permasalahan diatas, maka peneliti mengembil dua permasalahan pokok, yaitu :
1.   bagaimana kronologis peristiwa Situjuh Batur di Sumatra Barat dan serta apa yang melatar belakangi peristiwa tersebut ?
2.   Apa yang menyebabkan rapat rahasia di situjuh batur tersebut jatuh ke tangan belanda sehingga banyak memakan korban para pembesar militer Indonesia ?

C. Tujuan Pembahasan dan Manfaat
Dalam pembahasan yang diawali dengan penelusuran sumber-sumber arsip dan literature yang relefan ini, maka diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dalam segi sejarah. Disisi lain, pembahasan mengenai permasalahan diatas untuk mengungkapkan beberapa hal, diantaranya :
1.   Untuk mengetahui bagaimana kronologis Peristiwa Situjuh Batur di Sumatra Barat dan serta apa yang melatar belakangi peristiwa tersebut.
2.   untuk mengetahui penyebab rapat rahasia di situjuh batur tersebut jatuh ke tangan belanda, sehingga banyak memakan korban para pembesar militer Indonesia.

















BAB II
PEMBAHASAN
A, Jalannya Peristiwa
Peristiwa Situjuh Batur berkaitan dengan agresi Belanda ke-2, peristiwa itu ditandai dengan dibomnya Yogyakarta dan Bukittinggi oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Rentetan peristiwa itu adalah ditangkapnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta beserta pemimpin lainnya. Soekarno dan Hatta kemudian dwitunggal itu pun diasingkan ke Bangka.
Peristiwa pemboman terhadap Bukittingi dan daerah sekitarnya tentu menjadi pengalaman yang tragik, romantik sekligus heroik bagi para pelaku dan masyarakat pada masanya. Diketahui pada tangga 18 Desember 1948 pesawat tempur Belanda, meraung di udara Bukittinggi , awalnya aksi pesawat itu dikira pesawat yang membawa Presiden Soekarno yang singgah di Bukittingi untuk selanjutnya pergi ke India.
Kiranya pada pukul 08.00 pagi tanggal 19 Desember Belanda menyerang kota Bukittinggi, Pusat Pemerintahan Sumatera. Selain itu beberapa tempat seperti Pariaman dari arah laut, Padang Panjang, dan Payakumbuh juga diserang oleh Belanda dengan Mustangnya. Akibatanya berbagai fasilitas pemerintahan dan masyarakat hancur. Serangan itu diikuti oleh penyebaran pamplet oleh Belanda. Isinya yang penting antara lain Presiden Soerkano dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap oleh Belanda. Selain itu Belanda mengajak semua pihak untuk bekerja sama menghancurkan para “teroris-teroris”, tak lain adalah poara pejuang Republik Indonesia.
Dibomnya Bukittinggi sebagai Pusat Pemerintahan Sumatera menimbulkan inisisatif dari beberapa pimpinan yang ada di Sumatera. Pertama inisiatif, Tengku M. Hasan CS. Segera setelah pemboman ia mengadakan pertemuan bersama antara Tengku Muhamammad Hasan (Komisariat Pemerintahan Pusat), Mr. M. Nasroen (Gubernur Sumatera Tengah) dan Mr. Sjafruddin Prawira Negara (Menteri Kemakmuran ) yang kebetulan sedang berada di Sumatera. Pertemuan itu diadakan di gedung kediaman Wakil Presiden M. Hatta. Karean tidk tuntas, pertemuan juga dilakukan di rumah Mr. Tengku Mohammad Hasan. Ada dua hal yang penting digariskan dalam dua pertemuan itu, yaitu ide untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan segera menghimbau rakyat untuk mengungsi. PDRI perlu didirikan untuk menjaga agar jangan terjadi vakum kekuasaan .
Kedua insisiatif dari St. M. Rasjid, yang kebetulan pada waktu pemboman yang dilakukan tentara Belanda terhadap Bukittinggi sedang berada di Pariaman untuk menjenguk tiga buah kapal barang yang datang dari Singapura. Ia dengan penuh bahaya melewati Sicincin dan Padang Panjang menuju Bukittingi kira-kira pukul 11.00 wib pagi tanggal 19 Desember. Sementara itu tentara Belanda didengar sudah diterjunkan di Singkarak. Sesampainya di Bukittinggi Rasjid langsung mengadakan rapat dengan mengundang Dewan Pertahanan Daerah (DPD) dan beberapa pejabat daerah untuk bersidang.
Karena kesibukan menyelamatakan keluarga untuk mengungsi maka banyak di antara undangan yang tidak hadir. Pada tanggal 20 Desember Mr S.M. Rasjid kembali mengundang kepala-kepala jawatan untuk mengadakan rapat, namun rapat ini gagal karena Bukittinggi terus dibom oleh tentara Belanda. Rapat itu baru terlaksana malam tanggal 20 Desember tersebut. Beberapa instruksi yang penting dari Residen Rasjid yang dirumuskan malam itu adalah: menyelamatkan barang-barang penting kepunyaan pemerintah, mengamankan penduduk, mengusngi keluar kota, tidak boleh bekerjasama dengan Belanda serta membumihanguskan kota sebelum ditinggalkan. Selain itu, Rasjid selaku residen Sumatera Barat juga menghimbau seluruh penduduk untuk memperlambat gerak musuh dengan menumbangkan pohon-pohon ke jalan yang kemungkinan dilewati kenderaan patroli Belanda, merusak jembatan dan sebagainya. Rapat terakir Residen Sumatera Barat adalah pada jam 11.00 tanggal 21 Desember, rapat ini diadakan sebelum Rasjid bersama keluarga meninggalkan Bukitttinggi menuju Payakumbuh.
Sampai di Payakumbuh jam 01.00 malam, Rasjid pun berkumpul dengan jajaran sipil dan militer untuk mensosialisasikan kebijakan Pemerintahan Sumatera Barat atas terjadinya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember. Ironisnya menurut Rasjid pertemuan itu diadakan di rumah dr. Anas, yang oleh masyarakat Payakumbuh dianggap sebagai kakitangan Belanda. Tetapi menurut Rasjid dr. Anas tidak membocorkan hasil pertemuan itu.
Pada tanggal 22 Desember 1948 beberapa pejabat Republik yang ada di Sumatera sudah berkumpul di Halaban, saat itu pula tentara Belanda sudah menguasai Bukittinggi. Segera pada tanggal tersebut PDRI disusun dan kemudian diumumkan ke seluruh pelosok Nusantara bahkan ke mancanegara. Struktur PDRI bisa dilihat sebagai berikut:
Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua PDRI/Menetri Pertahanan dan Penerangan/ Mewakili Menteri Luar Negeri.
Mr. Tengku Mohammad Hassan : Wkil Ketua PDRI/Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan/mewakili menteri dalam Negeri dan Menetri Agama.
Mr. Lukman Hakim : Menteri Keuanga/ mewakili Menteri Kehakiman.
Ir. Mananti Sitompul : Menteri Pekerjaan Umum/mewakili Menteri Kesehatan
Ir. Indratjaja : Menetri Perhubungan/mewakili Menetri Kemakmuran
Mr. Sutan Muhammad Rasjid : Menteri Perburuhan dan Sosial/mewakli Menteri Pembangunan dan pemuda serta mengurus soal-soal kemanan.
Dari struktur dan personal yang menjabat itu perlu dipahami bahwa PDRI bukanlah pemerintahan masyarakat Sumatera apalagi Sumatera Barat, karena ia dijabat dari berbagai unsur. Dan tujuannya juga untuk melanjutkan tugas pemerintahan pusat yang sedang vakum.
Hal yang penting dalam konteks ini adalah bagimana kondisi perjuangan PDRI di sekitar Limapuluh Kota dan korelasinya dalam keberadaan Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa PDRI mobil, dan dua pusat pemerintahan yang agak menonjol adalah di Kototinggi (Limapuluh Kota) dan Bidar Alam (Solok Selatan). Dipilihnya Kototinggi sebagai salah satu pusat pemerintahan Sumatera Barat dan PDRI tentu dengan alasan bahwa nagari Kototingi dianggap aman dan srategis.Semenetara Bidar Alam strategis untuk pertahanan dan tidak begitu jauh dari sumber kebutuhan pangan. Kedua daerah ini berada di pinggiran dan lebih mudah untuk berhubungan keluar.
Pemerintah dan Masyarakat Lima Puluh Kota: Memperjuangkan Republik dari Nagari
Selain Yogyakarta dan Bukittinggi beberapa kota kecil di Sumatera juga diserang oleh Belanda, salatu satunya adalah Payakumbuh. Beberapa nagari yang dekat dengan kota Payakumbuh diserang dari udara dengan poesawat Catalina sehingga mengakibatkan hancurnya beberapa fasilitas dan mengenai beberapa penduduk. Seperti yang diungkapkan oleh Sekretaris Kapupaten Limapuluh, Anwar ZA:
“tembakan dari pesawat udara yang dilancarkan Belanda mengenai 2 (dua) buah bis yang bermuatan penuh: sebuah bis terkena tembakan di Piladang (arah barat kota payakumbuh) dan seluruh penumpangnya korban’ dan satu lagi du batang tabit juga mengorbankan seluruh penumpang bis itu. Semua korban itu diangkat ke RSU Payakumbuh dan dibaringkan di kamar jenazah. ....ada yang pontong badannya, pecah kepalanya, putus kaki dan sebagainya.”
Memperhatikan perkembangan kondisi, pada tanggal 20 Desember Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota yang berpusat di Payakumbuh langsung mengadakan koordinasi dan membicarakan mengenai kemungkinan langkah-langkah yang mesti diambil untuk menyelamatkan pemerintahan dan keselamatan masyarakat. Dua hari setelah itu Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk di Halaban. PDRI dan Belanda pun ibarat berkejaran dengan maut. Tak lama setelah anggota petinggi PDRI melewati kota Payakumbuh, maka belanda pun menguasai penuh kota tersebut.
Kondisi Pemerintahan Lima Puluh Kota tercerai berai, kecuali dikabarkan bahwa Bupati Alifudin Saldin masih berada dalam kota. Sebahagian pegawai terpencar ke Payakumbuh Utara seperti Koto Tinggi dan sebahagian lagi terpencar ke selatan seperti ke arah Situjuh dan sebagainya. Akibat keterpencaran itu maka sulit bagi Bupati untuk mengkoordinasikan Pemerintahan. Untuk menyelamatkan pemerintahan Gubernur Militer Sumatera Barat di Kototinggi mengangkat Arisun St Alamsyah sebagai Bupati Militer. Dalam pemerintahan yang baru Arisun mencoba untuk mengorganisasi wilayah kecamatan di Lima Puluh Kota. Namun belum berapa lama memerintah Arisun gugur di Situjuh Batur
Berbeda dengan Bukittinggi, ketika dilancarkan Agresi Militer kedua , Kabupaten Limapulupuh Kota menjadi lebih sibuk. Karena daerah itu menjadi pusat administratif Sumatera Barat dan basis bagi perjuangan PDRI. Sejak dijadikan Kototingggi sebagai salah opusat aktivitas PDRI dan Pusat Pemerintahan Sumatera Barat, tak kurang 700 orang pegawai dan pejabat Sumatra Barat beraktivitas di sana. Konsumsi pegawai itu selama PDRI menjadi lebih ringan karena adanya dukungan dari masyarakat dan di-back up oleh kebijakan Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota. Pengakuan Rasjid:“Bukan hanya yang berwujud materi saja yang dikorbankan rakyat kecamatan Gunung Mas. Bahkan jiwa pun ikut mereka korbankan dengan ikut pergi ke front di sekitar payakumbuh untuk bertempur dengan Belanda. Tidak kuat rasanya saya menuliskan bagimana menanggung beban utang budi dan pengorbanan dari semua rakyat seluruh kecamatan itu. Sampai nyawa bercerai dengan badan tak akan saya dapat melupakan kebaikan hati mereka”
Sebelum peristiwa Situjuh Batur 15 Januari 1949, beberapa kebijakan untuk mendukung perjuangan sudah dikeluarkan oleh Bupati Militer Arisun, namun tampaknya koordinasi terhadap pemerintahan tampaknya kurang jelas.Sehingga intruksi yang dikeluarkan Bupati banyak yang tidak dilakukan. Sementara maslah sosial dan ekonomi juga berkembang sejalan dengan banyaknya para pengungsi dari daerah lain yang datang ke nagari-nagari di Limapuluh Kota.
Beruntunnya serangan Belanda sejak tanggal 19 Desember tampaknya membuat tidak berdaya tentara, polisi dan barisan perjuangan. Semuanya sudah lari menyelamatkan diri dan keluarga ke nagarai-nagari. Kelemahan itu kelihatan saat terjadinya patroli bermotor Belanda ke Koto Tinggi tanggal 10 Januari 1949. Artinya beberapa instruksi dari Gubenrnur Militer dan Pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota tidak terlaksana.
Peristiwa patroli bermotor ke Kototinggi tanggal 10 Januari mendapat perhatian serius dari Gubernur Militer, S.M. Rasjid. Malam setelah patroli Bea mundur ke Payakumbuh, Rasjid mengundang seluruh elit perjuangan di Kototinggi untuk rapat. Selain rasjid, beberapa orang yang ikut rapat malam itu antara lain, Komandan teritorum Sumatera Barat, Letkol. Dahlan Ibrahim, Mayor A Thalib, Ketua MPRD, Chatib Sulaiman, Djuir Muhammad dan Anwar St Saidi. Rapat itu telah memutuskan untuk membentuk koordinasi yang lebihbaik baik antara tentara, BPNK dan wali perang, perusakan jalan dan mengadakan pertemuan yang lebih luas di Situjuh Batur untuk mengadakan kordinasi . Hal yang juga penting dan diagendakan adalah memecahkan maslaah pasukan batalyon singa harau yang pindah ke Payakumbuh.
Peristiwa patroli Belanda tanggal 10 januari ke Koto Tinggi juga menjadi catatan penting bagi pemerintah Limapuluh Kota. Untuk itu, beberapa strategi yang diinstruksikan oleh Pemerintah Limapuluh Kota sebelum perisitiwa Situjuh Batur pun dikeluarkan. Intruksi itu antara lain, rumah-rumah yang berada di pinggir jalan jangan dikunci pada siang hari, sebab musuh biasanya lewat pada siang hari, karena itu sebaiknya ada anggota keluarga yang tinggal untuk memata-matai musuh. Kemudian diharapkan di setiap 500 meter pada jalan-jalan besar diharuskan merebahkan pohon ke jalan untuk merintangi musuh. Kemudian diharuskan membunyikan tontong bila diketahui ada musuh yang masuk nagari. Setiap Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) hendaklah meningkatkan aktivitasnya siang dan malam. Instruksi lain adalah meruntuhkan beberapa jembatan penting di sekitar kota, sehingga Belanda tidak bisa patroli ke luar kota.

B. Tragedi dan Problematika Perjuangan
Peristiwa Situjuh Batur sudah terjadi 58 tahun yang lalu. Peristiwa itu pasti meninggalkan kesan yang dalam bagi para pelakunya dan masyarakat yang menyaksikannya. Mungkin di sana ada duka, romantisme sejarah, heroik dan sebagainya. Kadang kala pembicaraan peristiwa Situjuh hampir identik pula dengan pengkhianatan Kamaluddin Tambiluak, seorang Letnan II yang pernah diutus dalam penyelundupan hasil bumi ke Singapura oleh Divisi Banteng.Namun secara lebih jernih dan luas peristiwa Situjuh mesti ditempatkan di atas krisis yang lebih luas, baik di tingkat pemerintahan PDRI maupun di Lima Puluh Kota. Tidakkah beberapa faktor sebelum peristiwa Situjuh Batur membuka peluang untuk terjadinya tragedi?
Dari arsip-arsip Limapuluh Kota sebelum peristiwa Situjuh Batur, tidak banyak koordinasi yang berarti untuk perjuangan di daerah ini. Terakhir sekali Bupati Arisun hanya memberikan pembagian tugas sebagai ganti dari Susunan Organisasi pemerintahan, seperti bidang Politik, Pertempuran, Keamanan, Propaganda Siasat dan persenjataan. Susunan ini tentu lemah dan tidak effektif untuk perjuangan.
Sementara dalam bidang militer terjadi perselisihan dan salah paham di antara kelompok militer. Kembalinya 2 pasukan Singa harau dari Sawahlunto masuk dalam agenda rapat yang akn dibicarakan di Lurah Kincir, sehingga dua pasukan itu tidak diikutkan dalam mengawal rapat. Pengawalan rapat lebih mengandalkan perusakan jalan. Pada hal rapat yang sangat penting itu dihadiri oleh Ketua MPRD Sumatera Barat.
Di kalangan tentara terjadi gap-gap yang bermuara pada konflik. Ada diantara tentara yang saling bunuh. Sebelum rapat besar di Situjuh Batur, sudah terjadi pertengkaran mengenai tempat rapat antara Syofyan Ibrahim (Kepala Intelijen Divisi IX Sumbar dengan Kamaluddin tambiluak anggota perlemngkapan Divisi IX.). Gejala-gejala seperti itu merupakan sinyal tidak kuatnya pertahanan dan keamanan.
Rencana rapat besar di Situjuh Batur sudah tersiar dari mulut ke mulut, baik antara masyarakat maupun antara para pejuang. Isu rapat itu tentu mudah diketahui oleh Belanda yang pendidikan intelijennya jauh lebih baik dari tentara Republik. Rapat itu seperti disambut dengan begitu semangat, initerlihat dari aktivitas masyarakat meruntuhkan jembatan, menumbangkan pohon dan sebagainya. Aktivitas seperti ini mudah diketahui Belanda, apa lagi sehari sebelum rapat pesawat capung Belanda sudah melintas-lintas di angkasa Situjuh. Ini tentu bahagian dari tanda-tanda yang kurang kondusif. Tetapi rapat terus dilangsungkan, dan diserang oleh Belanda.
Peristiwa Situjuh pada suatu sisi memang merenggut puluhan nyawa, dan melukai banyak orang. Namun Peristiwa Situjuh Batur telah menjadi titik tolak untuk melakukan perjuangan di basis PDRI. Konsolidasi tentara dan pemerintahan dilakukan setelah itu. Tentara yang sebelumnya tidak terkoordinasi kini dipimpin dalam satu Komando Pertempuran Limapuluh Kota, di bawah pimpinan Kaptem M. Syafei. Di bawah koordinator Syafei, Payakumbuh yang dikuasai Belanda diserang pada tangal 3 Januari secara serentak. Serangan itu telah memberikan rasa gembira, meningkatkan kepercayaan di hati rakyat kepada pemerintah dan tentara. Peristiwa penyerangan yang menghancurkan beberap pos Belanda itu cukup memberikan keyakinan bahwa Republik Indonesia masih ada, karena itu kerjasama antara masyarakat dan pemimpin pun dirasakan.

kronologis peristiwa pertempuran di sumatra barat
19 Desember 1948
Yogyakarta dan Bukittinggi diserang oleh Belanda, secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan Pemerintah Darurat untuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi dan Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Pada saat yang sama Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengadakan rapat darurat dengan para pemimpin di Bukittinggi dan mengumumkan secara terbatas tentang pembentukan PDRI.
20 Desember 1948
Rapat-rapat dilakukan di Bukittinggi, sementara arus pengungsi keluar kota mulai terjadi. Kepala Staf AURI Komodor H. Soejono memerintahkan penyelamatan dua Stasiun Radio PHB AURI dengan membawanya ke Halaban (Payakumbuh Selatan) dan Piobang, Stasiun Radio tersebut adalah :
a. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III Luhukay.
b. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III M.S. Tamimi.
21 Desember 1948
Rombongan pemerintah sipil, termasuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Teuku Hasan meninggalkan Bukittinggi untuk seterusnya mengungsi ke Halaban. Kepala Kepolisian Sumatera Barat , Komisaris Sulaiman Efendi dan sejumlah pemimpin menyingkir ke Lubuk Sikaping, Pasaman. Stasiun Radio AURI pimpinan Lahukay tiba Halaban, tetapi tidak sempat mengudara, karena dibumihanguskan di Halaban. Stasiun Radio Pemancar pimpinan M. Jacob Loebis sampai di Piobang, Payakumbuh untuk seterusnya dibawa ke Koto Tinggi, tengah malam Kota Bukittinggi dibumihanguskan.
22 Desembar 1948
Pembentukan Kabinet PDRI di Halaban. Stasiun Radio PHB AURI Pimpinan Tamimi diserahkan oleh Komondor H. Soejono Kepala PDRI (Sjafruddin Prawiranegara) untuk melayani komunikasi radio Mr. Sjafruddin Prawiranegara beserta rombongannya. Stasiun Radio itu ikut serta bergerilya hingga ke tempat pengungsian di Bidar Alam.
23 Desembar 1948
Stasiun Radio Tamimi di Halaban untuk pertama kali dapat berhubungan dengan Stasiun Radio AURI yang lain, baik yang berada di Jawa maupun di Sumatera (Ranau, Jambi, Siborong-Borong dan Kotaraja). Sjafruddin Prawiranegara merasa gembira menerima laporan tes kemampuan Stasiun Radio PDRI, dan memngumumkan berdirinya PDRI.
24 Desembar 1948
Menjelang Subuh, rombongan PDRI di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara meninggalkan Halaban menuju Pekan Baru, melalui Lubuk Bangku dan Bakinang. Stasiun Radio Tamimi dengan semua peralatan pengirim dan penerima ditempatkan pada sebuah Jip, mengikuti rombongan PDRI Awak (Crew) Stasiun Radio tersebut adalah :
1. Opsir Udara M.S. Tamimi sebagai Kepala
2. Sersan Mayor Udara Kusnadi. sebagai Teknisi merangkap Teloegrafis
3. Sersan Mayor Udara R. Oedojo, Telegrafis
4. Kopral Udara Zainal Abidin,Telegrafis Mengabungkan diri di Bidar Alam dari Pangkalan Udara Jambi.
5. Letnan Muda Udara III Umar Said Noor, Bagian Sandi
Mengabungkan diri di Bidar Alam dari Pangkalan Udara Jambi.
Stasiun Radio Tamimi mengunakan kode pangil (Call Sign) “UDO” singkatan dari Oedojo. Sering dipakai juga Call Sign “KND” atau “ZAY” singkatan dari Kusnadi dan Zainal Abidin. Type sender yang digunakan ialah MK III 19 Set.
24 - 26 Desembar 1948
Rombongan Rasjid tiba di Koto Tinggi, dilengkapi dengan beberapa set perlengkapan Stasiun Radio :
a.Stasiun Radio AURI yang melayani Gubernur Sumatera Barat/Tengah di Koto Tinggi adalah Stasiun Radio ZZ di bawah pimpinan Opsir Muda Udara I M. Jacob dengan ahli telegaf antara lain Zainul Aziz, Soesatyo, Soegianto, Soeryo.
b.Stasiun Radio AURI yang bertugas mulai 22 Desember 1948 sampai 11 November 1948 mengikuti Gubernur Sumatera Barat/Tengah Mr. Rasjid dengan type sender : TCS-10
c.Stasiun Radio yang berpindah-pindah tempat, mulai dari Desa Koto Tinggi, Puar Datar (di sini hampir saja Stasiun Radio ini diketahui olah Belanda yang menyerbu Puar Datar, tetapi berkat kesiagaan dan kegesitan para awak pihak Belanda dapat dikelabui), Sungai Dadok sampai Mudik Dadok. Sebelum memasuki Kota via Piobang, pada tanggal 11 November 1948, Stasiun Radio ini beroperasi di Sungai Rimbang, Stasiun Radio AURI ini mampu berhubungan pula dengan Jawa dan Luar Negeri (India).
d.Stasiun Radio AURI yang melayani Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Koto Tinggi, antara 19 Juni 1949 dan 8 Juli 1949, berakhir saat tokoh ini berangkat ke Yogyakarta.
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara berada di Bangkinang. Sewaktu rombongan berada di Bangkinang. Belanda yang mengunakan pesawat-pesawat P-51 menyerang dengan bom.
Stasiun Radio mengirim berita ke Pangkalan Udara Jambi, menyampaikan permintaan PDRI agar pesawat RI 005 PBY (AU) diterbangkan kesalah satu sungai di Riau, ternyata kemudian pada tanggal 29 Desember 1948 ketika Belanda menyerbu Kota Jambi, pesawat yang dimaksud tenggelam di Sungai Batang Hari saat berusaha lepas landas.
27 - 28 Desembar 1948
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara segera meninggalkan Bangkinang, menuju Tarakan Buluh dan menyeberangi Sungai Kampar untuk meneruskan perjalanan ke Teluk Kuantan. Beberapa sadan ditinggalkan dan ditenggelamkan ke dalam sungai. Setelah melewati beberapa kampong antara lain Lipat Kain dan Muara Lembu, Jip berisi peralatan Sender terbalik, masuk kubangan lumpur beserta seluruh penumpangnya. Penumpang Jip itu adalah
Sjafruddin Prawiranegara, Tumimi (yang bertindak sebagai sopir), Oedojo dan Kusnadi. Sjafruddin Prawiranegara kehilangan kacamatanya, untunglah jip beserta peralatan pengirim tidak mengalami kerusakan, meskipun memerlukan waktu sehari semalam untuk dibersihkan dan dikeringkan. Sedangkan Sjafruddin Prawiranegaraberuntung mendapatkan kacamata “baru” dari seorang Dokter yang bertugas di wilayahn itu.
29 Desembar 1948
Perjalanan diteruskan ke Teluk Kuantan, ditepi Sungai Kuantan mereka menginap. Sementara itu Panglima Kol. Hidayat singah di Koto Tinggi dalam perjalanan cross-country dari Selatan ke Utara Sumatera, hingga ke Aceh. Hidayat mengadakan rapat dengtan Gubernur Rasjid dan mengambil keputusan merombak Pemerintahan Sipil menjadi Pemerintahan Militer. Semua pejabat Gubernur Sipil dan segenap jajarannya dimiliterkan dan semua Wakil Gubernur diangkat dari Tokoh Militer.
30 - 31 Desembar 1948
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki dari Taluk ke Sungai Dareh, semua kendaraan di tinggalkan di Taluk. Pada suatu tempat tertentu antara Taluk dan Sungai Dareh peralatan Sender diangkut melalui hutan dengan Lori bekas Jepang. Penumpang Lori hanya dua orang yaitu : Ir. Indra Tjahja sebagai masinis dan Oedojo (Telegrafis) sebagai penjaga peralatan Sender.
1 Januari 1949
Tahun Baru rombongan menginap selama tiga hari di Sungai Dareh, beristirahat dan merayakan tahun baru. Stasiun Radio sempat mengirimkan Ucapan Selamat tahun Baru kepada seluruh Stasiun Radio AURI di Jawa dan Sumatera yang melayani Pemerintahan Sipilo dan Militer.
3 Januari 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara berangkat dari Sungai Dareh ke Bidar Alam via Aabi Siat dan Abai Sangir. Rombongan dibagi menjadi tiga : (1) Rombongan Induk dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara, menempuh jalur Sungai Batang Hari dengan mempergunakan sampan yang digerakan dengan dayung dan galah dari bamboo. (2) Rombongan Keuangan dipimpin oleh Mr. Loekman Hakim (Menteri Keuangan PDRI) menuju Muara Tebo dengan naik perahu bermotor, membawa klise oeang RI Poeloe Sumatera (ORIPS) untuk dicetak di Muaro Bungo. (3) Rombongan Satsiun Radio dipimpin oleh Wakil PDRI Mr. Teuku Hasan, mengambil jalan darat karena takut tenggelam, dengan berjalan kaki menuju Abai (setelah berpisah kurang lebih 2 minggu mereka bertemu kembali di Bidar Alam).
(Keterangan mengenai ORIPS : Mesin Cetak Uang RI Muaro Bungo dirakit oleh anggota-anggota AURI dari Jambi, yang dipimpin Opsir Udara III Soejono, dari bekas mesin cetak biasa. Hasil cetakan ORIPS itu diserahkan kepada Mr. Loekman Hakim, Menteri Keuangan PDRI dan dibagi-bagikan kepada pemerintah setempat di Muaro Bungo).
4 - 5 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio tiba di Abai Siat dan bersiap-siap menuju Abai Sangir (“From Abai to Abai”). Beberapa peralatan sender yang tidak begitu penting terpaksa ditinggalkan ditengah perjalanan kerena medan yang ditempuh sangat berat.
7 – 9 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio beristirahat selama kurang lebih satu minggu di Abai Sangir. Ketika rombongan stasiun radio berada di Sangir, rombongan keuangan yang dipimpin Mr. Loekman Hakim sudah tiba di Muara Tebo dan siap-siap melanjutkan ke Bidar Alam. Selama di Abai Sangir, stasiun radio tetap mengudara.
10 Januari 1949
Belanda menyerang Koto Tinggi dari basisnya di Payakumbuh.
15 Januari 1949
Tragedi Situjuh Batur. Rapat Besar Pimpinan Sumatera Barat di Situjuh Batur digrebek Patroli Belanda. Banyak Korban jatuh termasuk beberapa Tokoh Paling Terkemuka di Sumatera Barat (antara lain Ketua MPRD, Chatib Soelaiman) dan Puluhan Prajurit dan BNPK di Nagari itu. Antara lain yang dimakamkan di Situjuh Batur yaitu :
1 CH. SULAIMAN MPRD
2 ARISUN ST. ALAMSYAH BUPATI
3 MUNIR LATIF LETKOL
4 ZAINUDDIN MAYOR
5 TANTAWI KAPTEN
6 AZINAR LAETNA I
7 SYAMSUL BAHRI LETNAN II
8 RUSLI SOPIR
9 SYAMSUDIN PMT
Yang dimakamkan di Situjuh Banda Dalam adalah :
1 M. ZEIN BPNK
2 RAMLI BPNK
3 SYAMSUL KAMAL BPNK
4 KAMASYHUR BPNK
5 NAKUMAN BPNK
6 MANGKUTO BPNK
7 AHMAD BPNK
8 RAJIMAN BPNK
Yang dimakamkan di Situjuh Gadang adalah :
1 RAUDANI LETDA
2 ABDUDIS LETDA
3 AGUS YATIM LETTU
4 AZIS JUNAID LETTU
5 ABAS HASAN SERMA
6 DARUHAN SERMA
7 RASYID SIRIN KOPTU
8 Y. MALIKI BPNK
9 HASAN BASRI BPNK
10 BURHAN BPNK
11 ALI AMRAN BPNK
12 SYAFWANEFF BPNK
13 A. MALIK BPNK
16 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio beserta Mr. Teuku Hasan tiba di Bidar Alam, rombongan Sjafruddin Prawiranegara sudah tiba disana terlebih dahulu. Sekitar minggu terakhir Januari 1949, seluruh rombongan secara lengkap sudah berada di Bidar Alam.
17 Januari 1949
Stasiun Radio PDRI berhasil melakukan kontak dengan New Delhi.
21 Januari 1949
Sjafruddin Prawiranegara mengirimkan ucapan selamat kepada Nehru dan peserta Konferensi New Delhi tentang Indonesia.
22 Januari 1949
Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh 19 Delegasi Negara Asia, termasuk Delegasi Peninjau, mengeluarkan Resolusi (Resolusi New Delhi), yang berisi protes terhadap agresi Militer Belanda dan menuntut pengembalian Tawanan Politik (Soekarno-Hatta) dan semua pemimpin Republik ke Yogyakarta.
23 Januari 1949
Mr. Rasjid dari Koto Tinggi, mengirimkan ucapan selamat atas keberhasilan Konferensi New Delhi.
28 Januari 1949
DK-PBB mengeluarkan resolusi tentang masalah Indonesia.
29 Januari 1949
Hubungan PDRI dengan para pemimpin di Jawa mulai dapat dibuka lewat telegram Kol. T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf APRI, yang melaporkan perkembangan di Jawa kepada PDRI Pusat di Sumatera. Laporan ini kemudian pada 12 Februari 1949 disusul dengan laporan Kol. A.H. Nasution kepada Ketua PDRI.
7 Februari 1949
Menteri Kasimo, atas nama KPPD melaporkan perkembangan terakhir di Jawa sebagai tanggapan atas telegram Ketua PDRI, 15 Januari 1949.
8 – 30 Februari 1949
Komunikasi antar Tokoh PDRI di Sumatera dan Jawa dapat diintensifkan sehingga kepemimpinan dan strategi perjuangan menghadapi kekuatan militer Belanda semakin Terkonsolidasi.
Prakrasa perundingan yang disponsori oleh Badan PBB, UNCI, antara para pemimpin yang ditawan di Bangka dengan para petinggi Belanda di Jakrta di bawah pimpinan Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Beel.

28 Februari – Maret 1949

Serangan balik ke Ibu Kota berdasarkan gagasan cemerlang penguasa tertinggi Republik di Yogya, Sri Sultan Hamengku Buwono. Serangan itu dilaksanakan oleh para prajurit yang bermarkas di sekitar Yogya, dipimpin oleh Letkol Soeharto.
2 – 29 Maret 1949
Kontak antara PDRI di Sumatera dan PDRI di Jawa.
3 Maret 1949
Stasiun Radio Dick Tamimi di Bidar Alam menerima radiogram dari Wonosari tentang serangan 1 Maret 1949 (“6 jam di Yogya”). Radiogram tersebut langsung dikirim keseluruh Satsiun Radio AURI di Sumatera, termasuk Koto Tinggi, Aceh. Kabar itu, oleh Stasiun Radio AURI di Koto Tinggi, dikirimkan pula ke Perwakilan RI di New Delhi melalui surat stasiun radio di India. Berita yang sama juga disebarkan oleh Stasiun Radio AURI di Aceh (belakangan diketahui bahwa stasiun radio AURI tersebut berada di Desa Tangse dan di Kota Kotaraja), yang ternyata mempunyai hubungan dengan Stasiun Radio Angkatan Darat Burma. Atas izin pemimpin AD Burma saat itu, Stasiun Radio Angkatan Darat Burma dapat dipergunakan oleh Opsir Muda Udara III Soemarno untuk berhubungan dengan Stasiun Radio AURI di Aceh. Soemarno, telegrafis, bersama Opsir Udara III Wiweko, penerbangan berada di Burma dalam rangka penerbangan RI Seulawah.
31 Maret 1949
Penyempurnaan Susunan Kabinet PDRI. Keanggotaan Kabinet diperlengkapi dengan para Menteri yang masih aktif di Jawa, termasuk Mr. Maramis, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, yang diangkat sebagai Menteri Luar Negeri PDRI berkedudukan di New Delhi.
1 April 1949
Panglima Besar Soedirman akhirnya memilih menetap di Desa Sobo, setelah mengungsi dan bergerilya sejak mundur dari Yogya, Subuh 19 Desember 1948 dia menetap di Desa itu hingga kembali ke Yogya 10 Juli 1949.
15 – 25 April 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara secara bertahap meninggalkan Bidar Alam menuju Sumpur Kudus, tempat musyawarah besar pimpinan PDRI akan diadakan.
4 Mei 1949
Rombongan Gubernur Militer Mr. Rasjid dari Koto Tinggi dan Mr. Moh. Nasroen, mantan Wakil Gubernur Sumatera Tengah yang diangkat sebagai Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Tengah, tiba di Sumpur Kudus.
5 Mei 1949
Rombongan PDRI Sjafruddin Prawiranegara, secara lengkap tiba di Desa Calau, Sumpur Kudus. Rombongan PDRI meninggalkan Bidar Alam dengan naik perahu dan berjalan kaki melalui desa-desa antara lain Abai Siat, Sungai Dareh, Kiliran Jao, Sungai Betung, Padang Tarok, Tapus, Durian Gadang, Menganti (menginap satu malam) dan akhirnya tiba di Calau, Silantai, Sumpur Kudus.
7 Mei 1949
Pernyataan Roem-Royen di Jakarta, disusul dengan reaksi keras dari pihak oposisi, PDRI dan Panglima Besar Soedirman.
9 Mei 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara meninggalkan Calau, menuju ke Sumpur Kudus. Setelah menempuh satu hari perjalanan, rombongan tiba disebuah dataran tinggi. Saat itu anggota rombongan dipecah tiga : Sjafruddin Prawiranegara ke Desa Silangit dan Silantai, Stasiun Radio Sjafruddin ke Desa Guguk Siaur dan rombongan Keuangan ke Desa Padang Aur dam desa-desa lain sekitarnya. Di Daerah Ampalu itu, kru Stasiun Radio AURI bertemu dengan Kru Stasiun Radio PTT di Desa Tamporunggo, Sungai Naning dan desa-desa lain. Sejak saat itu, kegiatan Stasiun Radio Dick Tamimi semakin intensif.
14 – 17 Mei 1949
Sidang Paripurna Kabinet PDRI di Silantai, Sumpur Kudus di daerah Ampalu. Di tempat itu berkumpul semua anggota Kabinet PDRI yang berada di Bidar Alam dan Koto Tinggi, untuk membicarakan reaksi PDRI terhadap prakarsa perundingan yang dilakukan oleh para pemimpin yang ditawan di Bangka (Pimpinan Soekarno – Hatta). PDRI mengeluarkan pernyataan yang menolak prakarsa perundingan kelompok Bangka.
18 Mei – 19 Juni 1949
Sjafruddin tidak kembali ke Bidar Alam, melainkan tetap bersama seluruh anggota rombongan berangkat ke Koto Tinggi.
2 Juni 1949
Sjafruddin melakukan kontak radiogram dengan Hatta, via Kol. Hidayat, Panglima Sumatera yang bermarkas di Aceh.
5 – 10 Juni 1949
Hatta berangkat ke Aceh untuk mencari PDRI
19 Juni – 30 Juli 1949
Stasiun Radio AURI Tamimi (walaupun tanpa Tamimi lagi, karena yang bersangkutan telah ikut ke Koto Tinggi) masih berada di Siaur untuk beristirahat. Mereka ikut berpuasa dan berlebaran di Desa Siaur, pada tanggal 27 juli 1949.
2 – 3 Juli 1949
Utusan Hatta (terdiri dari dr. Leimena, Moh. Natsir dan dr. A. Halim) yang hendak menemui Sjafruddin di Koto Tinggi, tiba di Padang. Setelah menginap satu malam di Hotel Muaro, mereka berangkat dengan konvoi ke Bukittinggi dan seterusnya ke Payakumbuh. Keadaan pada waktu itu belum aman, sehingga kendaraan mereka paling kurang harus berhenti lima kali, karena dicegat oleh Gerilyawan.
6 – 7 Juli 1949
Perundingan antara utusan Hatta dan PDRI berlangsung di Koto Kaciak, Padang Japang Payakumbuh. Setelah melalui perundingan yang alot dan menegangkan, Sjafruddin berhasil diajak kembali ke Yogya, menandai terjadinya rujuk antara PDRI dan kelompok Bangka.
6 – 8 Juli 1949
Rombongan pemimpin dari Bangka tiba di Yogya. Dua hari kemudian utusan Hatta tiba pula di Ibu Kota.
10 Juli 1949
Sjafruddin dan Panglima Besar Soedirman memasuki Yogya. Sjafruddin bertindak sebagai Inspektur upacara penyambutan para pemimpin yang kembali ke Yogya.
13 Juli 1949
Sidang Kabinet Hatta pertama sejak Agresi kedua Belanda dengan acara pokok pengembalian Mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Soekarno – Hatta.
25 Juli 1949
Badan Pekerja KNIP dalam sidang pertama yang dipimpin Mr. Asaat, menyetujui pernyataan Roem Royen, tetapi dengan persyaratan yang diajukan PDRI melalui pengumuman pada 14 Juni. Persyaratan itu adalah : (1) TNI tetap berada di daerah yang didudukinya; (2) Tentara Belanda harus ditarik dari daerah yang didudukinya; (3) Pemulihan Pemerintah RI di Yogyakarta harus dilakukan dengan tanpa syarat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
dilakukan di kototinggi akan tetapi dikarnakan musuh sudah mulai menginjakkan kakinya di kototinggi  maka rapat itu pun dialihkan kesebuah dusun terpencil yang dirasa aman dan belum diduduki oleh militer belanda. Dusun tersebut bernama dusun situjuh batur. Hal inipun telah disepakati oleh para peserta rapat baik pemimpin militer ataupun sipil bahwa rapat akan diadakan pada tanggal 15 januari 1949. rapat tersebut pun didatangi oleh beberapa petinggi  seperti Chotib Soelaiman (ketua MPRD Sumatra barat), Arisun st.alamsyah (bupati militer kabupaten limapuluh kota), Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim (Panglima Komando Militer Sumatra barat), dan serta beberapa petinggi  militer dan sipil lainya. Rapat ini pun dimulai pada tanggal tersebut dinihari dan semua petinggi pun mulai melakukan rapat tersebut dengan baik.
Akan tetapi rapat militer yang sebenarnya bersifat rahasia ini jatuh ke tangan musuh, dikarenakan kelalaian dari para penjaga guna melindungi para peserta rapat tersebut kurang maksimal. Sehingga mengakibatkan banyak sekali korban berjatuhan karena serangan belanda . korban yang gugur kebanyaka dari para pemimpin militer yang berperan penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Apa penyebab kebocoran tersebut, sampai saat ini pun belum ada suatu jawaban yang pasti. Ada beberapa kemungkinan kebocoran informasi sehingga jatuh ke tangan musuh, yang pertama adalah belanda secara tidak sengaja menemukan atau mengetahui peristiwa tersebut. Dan yang ke dua adalah terjadi suatu penghianatan dalam tubuh militer republic Indonesia tersebut. Hal ini pun belum pasti kebenaranya dikarenakan belum diketemukanya bukti-bukti yang relefan.

DAFTAR PUSTAKA

·    Djoened Poesponegoro, Marwati.dkk, 1993, Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka.
·    Iskandar, Muhammad.dkk, 1998, Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan di Sumatra Barat 1945-1950, Jakarta, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
·    Kahin, Audrey, penterjemah drs. Azmi Zulfahmi,dipl.I.I, 2005, Dari Pemberontakan  ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, judul asli : Rebellion to Integration West Sumatra and the Indonesian Polity 1926-1998, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
·    Kahin, Audrey, penterjemah Satyagraha Hoerip, 1990, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, judul asli : Regional Dynamics of the Indonesian Revolution, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti.
·    Nasution,A.H, 1979, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 9, Bandung, Penerbit Angkasa.
·    Panyarikan, ktut Sudiri, 1993, Sejarah Indonesia Baru Dari Pergerakan Nasional Sampai Dekrit Presiden, Malang, Penerbit ikip Malang.
·    Rasjid,S.M, 1981, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 Jilid II, Jakarta, Penerbit Mutiara.
·    Ricklefs,M.C, 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada University Press.
·    Suparwoto & Sugiharti, 1997, Sejarah Indonesia Baru 1945-1949, Surabaya, Penerbit University press ikip Surabaya.



[1]          Audrey Kahin,”Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan”,(jakarta, Pustaka Utama Grafiti,1990), halaman :150.
[2]    Mr.S.M.Rasjid, dkk,”Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 jilid II”,(Jakarta,Penerbit mutiara,1981), Halaman : 131.
[3]    Mohammad Iskandar,dkk,”Peranan Desa Dalam Perjuangan Kemerdekaan di Sumatra Barat 1945-1950”,(Jakarta,debdikbud RI,1998), Halaman :111.
[4]    Audrey Kahin, “Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan”,op.cit, halaman :219
[5]    Renville merupakan nama sebuah kapal amerika yaitu USS-renville yang berlabuh di pelabuhan tanjung priok,dan kapal tersebutlah yang di jadikan tempat perundingan RI dengan Belanda. Lihat Suparwoto,”sejarah Indonesia Baru 1945-1949”(Surabaya, University press ikip surabaya,1997) halaman :54.
[6]    Marwati Djoenid Pusponegoro, dkk,”Sejarah Nasional Indonesia jilid VI”,(jakarta, Balai Pustaka,1993), halaman : 151.
[7]    Suparwoto, log.cit, halaman :107
[8]    Ktut Sudiri Panyarikan,” Sejarah Indonesia Baru Dari Pergerakan Nasional Sampai Dekrit Presiden”,(Malang, ikip Malang,1993), Halaman :106.
[9]    M.C.Ricklefs,”Sejarah Indonesia Modern”,(yogyakarta, Gajah Mada University press, 1991), halaman :106
[10]  Audrey Kahin,” Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998”,(jakarta,yayasan obor Indonesia,2005), halaman :213.
[11]  A.H.Nasution,”Sekitar Perang Kemerdekaan jilid 9”,(Bandung, Penerbit Angkasa,1979) Halaman :261.
[12]  Mr.S.M.Rasjid,dkk, op.cit, halaman :194.
[13]  Ibid, Halaman :195.

No comments:

Post a Comment